News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Gereja Dan Imlek

Gereja Dan Imlek
Gereja Dan Imlek



Setiap kali perayaan Imlek secara khusus ketika ada misa syukur Imlek, selalu saja ada “perdebatan” pro dan kontra. Yang pro seringkali menyampaikan alasan atas nama penghargaan terhadap saudara-saudari kita yang merayakan Imlek. Yang kontra membangun argumentasi dari sudut pandang iman dan keterkaitan dengan liturgi Gereja. Artinya penghargaan terhadap konteks budaya tertentu dengan melakukan perayaan Ekaristi tidak begitu saja juga dengan menabrak aturan Gereja. Gereja menaruh penghargaan terhadap setiap budaya yang baik dan benar namun bukan berarti menjadi jalan kompromi. Maka budaya dari komunitas tertentu wajib juga untuk menaruh penghargaan yang lebih tinggi terhadap aturan Gereja.


Sudah sangat jelas dalam Lument Gentium (LG), no. 17 tentang sifat misioner Gereja, setiap budaya yang ada perlu disehatkan, diangkat dan disempurnakan oleh terang Injil demi kemuliaan Allah. Untuk bisa disehatkan, diangkat dan disempurnakan butuh yang namanya penelitian hingga sampai pada refleksi Teologis Biblis atas kebudayaan tersebut agar tidak terjadi kerancuan dalam pelaksanaannya.


Berkaitan dengan misa syukur Imlek, agar tidak terjadi perdebatan terus menerus maka masing-masing pihak baik Gereja maupun yang merayakan Imlek yang adalah umat kita juga perlu bijak dalam perayaan tersebut. Gerejapun tidak boleh jatuh dalam kompromi atas nama penghargaan agar tidak menimbulkan “diskriminasi” sosial di lingkungan Gereja. 


Demikian juga bagi umat kita yang merayakan Imlek yang adalah umat Katolik, boleh saja melaksanakan misa syukur namun wajib juga untuk mentaati aturan Gereja. Penghargaan hanya memiliki makna kalau ada ketaatan iman terhadap apa yang sudah kita imani serta menempatkan pelaksanaannya sesuai dengan tempatnya tanpa mengaburkan makna dan tujuan dari Perayaan Ekaristi itu sendiri.


Bagi saya pribadi; boleh saja merayakan misa syukur Imlek namun ketika itu dilaksanakan pada hari biasa maka busana liturgi imam dan lainnya tetap mengikuti Pedoman Misale Umum Romawi (PUMR)-(lih. PUMR. 346). Artinya kalau itu dilaksanakan pada hari biasa maka busana liturgi dan kain penutup altar berwarna hijau dan hukan warna merah. Karena jika menggunakan warna merah, hingga hari ini perayaan syukur Imlek sendiri tidak menjadi salah satu hari raya Gereja Katolik, lantas apa hubungan iman Gereja dengan Imlek? Hiasan-hiasan berupa pernak pernik Imlek boleh ditempatkan di luar gereja. Harus disadari bahwa hingga hari ini soal inkulturasi masih seputar bahasa, nyanyian dan “tarian.” Bahkan tarian sendiri masih juga “diperdebatkan.”


Karena yang seringkali terjadi bahwa ketika perayaan Hari Raya Natal, hiasan ataupun dekorasi sederhana saja sesuai dengan makna hari raya Natal. Namun ketika misa syukur Imlek, sangat meriah bahkan segala pernak pernik Imlek ditempatkan didalam gereja bahkan digunakan oleh para imam. Secara pribadi sekali lagi saya tidak menolak misa syukur Imlek, namun tetap mengikuti pedoman Liturgi Gereja.


Sejatinya penghargaan terhadap saudara-saudari kita yang merayakan Imlek, tidak melulu dengan misa. Mendoakan mereka dalam misa pada doa umat serta memberikan ucapan dan mengunjungi mereka itu adalah penghargaan yang tulus kepada umat kita yang merayakan Imlek. Karena ketika ada misa syukur Imlek dan ada yang kontra sebenarnya kasihan juga dengan umat kita yang merayakan Imlek. Kalau kita bisa memberikan penjelasan yang baik dan benar sesuai dengan Pedoman Liturgi Gereja, saya yakin mereka juga akan memahami dan mentaati.


Maka disini butuh kerendahan hati juga untuk menempatkan hari raya Imlek pada tempatnya sesuai dengan maksud dan tujuannya. Ketika saya sudah mengimani Kristus maka saya wajib menunjukan ketaatan iman tersebut dengan mengikuti pedoman dan aturan Gereja. Boleh merayakan Imlek, namun kita perlu menyadari bahwa Imlek bukanlah Natal atau Paskah dan atau salah satu perayaan resmi Gereja sehingga tidak menjadi kewajiban Gereja untuk merayakannya secara khusus dengan nama misa syukur.


“Menghargai sebuah tradisi atau kebudayaan tidak serta merta menjadi kewajiban untuk merayakannya di dalam misa. Ketika kita tidak menghakimi kebudayaan tersebut dan menjadikannya sebagai media (perumpaan) dalam pewartaan itu sudah merupakan penghargaan terhadap budaya. Kompromi justru tidak menyehatkan dan menerangi kebudayaan tersebut dengan nilai-nilai Injili, tetapi justru melecehkan makna dan tujuan dari budaya tersebut.”


Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek untuk saudara-saudariku yang merayakannya. 



Manila: 27-Januari, 2023

Tuan Kopong msf

0 Komentar