News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Gairah Politik yang Tak Tertahankan (Bukan 'Salah Tusuk')

Gairah Politik yang Tak Tertahankan (Bukan 'Salah Tusuk')
Gairah Politik yang Tak Tertahankan (Bukan 'Salah Tusuk')


Oleh: Sil Joni*


Setelah sekian bulan 'berpacaran', ritual perkawinan antara calon kepala Desa (Cakades) dengan publik konstituen, telah dihelat pada tanggal 29 September 2022. Tentu, melalui pertimbangan matang, para voters dengan mantap menancapkan 'panah asmara politik' kepada salah satu dari Cakades itu

Bilik suara menjadi 'ranjang manis' untuk menyalurkan rasa cinta yang sekian lama 'membuncah' dalam dada itu. Para pemilih datang ke TPS, tentu dengan 'gairah politik' yang tak tertahankan. Semua 'perkakas cinta' dalam kondisi 'siap tempur'. Dengan itu, 'ritual tusuk' di bilik itu, berjalan dengan baik.

Baca: Antara 'Pelesir' dan Kunjungan Kedinasan

Dalam bilik itu, para voters tidak 'bercumbu' langsung dengan Cakades. Tubuh para Cakades terpahat dalam bentuk gambar yang melekat pada 'kertas suara'. Rasa cinta itu disalurkan pada 'kertas' tempat di mana tubuh dan nomor urut calon, terpampang secara nyata.

Meski hadir dalam bentuk 'gambar', kisah percintaan dalam kamar itu, tidak berjalan hambar. Para pemilih, tetap dengan 'hasrat membara' meraba raga sang Cakades pujaan. Setelah 'area sensitif' tersingkap, aksi penetrasi tak tertahankan lagi. Foto Cakades pada kertas suara, 'ditusuk' dengan khusuk. Bekas atau lubang tusukan itu, dianggap sebagai 'meterai legitim' bahwa kisah cinta sudah definitif.

Setelah rasa itu 'tersalurkan', gambar para Cakades 'dilipat' dengan rapi dan segera dimasukkan dalam sebuah 'kotak rahasia'. Lalu, salah satu ujung jari, dibasahi dengan 'tinta' sebagai tanda aktivitas senggama sudah usai. Bilik itu kita tinggalkan sambil menanti apakah 'perkawinan' tadi membuahkan hasil atau tidak.

Perkawinan politik itu, diverifikasi secara empiris. Tujuannya, untuk memastikan apakah para voters sudah menjalankan ritual itu dengan benar atau tidak. Pastikan bahwa 'perkakas cinta' digunakan sesuai fungsinya dan titik yang dibidik dalam bilik itu, tepat sasaran. Jika hasil 'pengecekkan' menunjukkan bahwa para konstituen 'tusuk' di bagian yang sudah disepakati, maka perkawinan itu dinyatakan sah dan masuk dalam perhitungan resmi.

Baca: Pidana, Apa Itu?

Tetapi, jika terbukti ada aksi 'percintaan yang nakal', dalam arti 'tusuk' di area yang bukan gambar atau nomor urut calon, maka 'aktivitas senggama' itu sia-sia. Surat suara itu dinyatakan tidak sah. Pertanyaannya adalah bagaimana jika karena 'terbawa nafsu', kertas suara itu, tidak dibuka tuntas dan publik menusuk pada gambar calon dalam kotak yang masih terlipat? Hasilnya adalah ada dua lubang tusukan, tetapi masih pada kotak calon yang sama. Apakah 'dua lubang tusukan' pada kotak gambar sang calon, dianggap sebagai kisah 'cinta terlarang'?

Saya berpikir, kondisi semacam itu, tidak dapat dikategorikan sebagai 'tusukan politik' yang salah alamat. Jika dibaca secara positif, maka tusuk pada kolom gambar calon yang masih terlipat (belum dibuka semuanya) merupakan ekspresi dari gairah politik yang berada pada titik klimaks. Publik pemilih, sepertinya tidak sabar lagi untuk 'merobek' keperawanan kertas suara itu, meski belum dibuka secara lebar. Bayangkan, baru dibuka setengah saja, 'gairah politik' itu sudah tidak bisa dikontrol, apalagi jika gambar calon terbuka semuanya.

Dirumuskan secara terang, tusukan itu sebetulnya sudah 'terfokus'. Bahwa ada tusukan lain pada area kosong dari kotak gambar sang calon, itu adalah 'sisi plus' bahwa dirinya sangat mencintai calon tersebut. Tidak ada pengkhianatan di sana. Cinta itu disalurkan secara elegan. Kotak gambar calon tetap menjadi lokus dan fokus. Sedangkan, tusukan yang tembus ke bagian kosong itu, hanya 'kisah tambahan' untuk memperkuat pesan bahwa antara sang wajib pilih dan kandidat, sudah satu hati.

Kita tahu bahwa perhitungan dan penetapan suara di beberapa Desa dari 102 Desa yang menyelenggarakan Pilkades di Mabar, diwarnai oleh aksi protes. Banyak yang tidak puas dengan keputusan panitia yang menganggap dua lubang tusukan pada kotak gambar calon tertentu, sebagai sesuatu yang tidak sah. Kertas suara itu tidak bisa dihitung untuk menambah perolehan suara dari calon tertentu.

Situasi menjadi semakin runyam ketika regulasi yang menjadi rujukan, tak selalu 'searah' dalam memberikan penjelasan. Ada perbedaan ketentuan antara Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan KPU yang ditopang dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Celakanya, mayoritas panitia Pilkades, menjadikan Perbup sebagai referensi absolut. Muncul polemik ketika pihak yang merasa dirugikan coba membandingkan antara isi putusan panitia yang berbasis Perbup dengan peraturan KPU berbasis putusan MK itu.

Baca: F. Edison Hengki, Cakades No. 3 dan Arah Baru Pembangunan Desa Golo Mbu

Tidak mudah memang untuk 'melerai' perbedaan tafsiran ini. Kita berharap agar tidak terjadi semacam 'benturan yang fatal' tersebab oleh tidak adanya konsensus final perihal referensi otoritatif dalam mengambil keputusan. Masing-masing pihak coba berpikir lebih jernih dan memilih untuk mengedepankan situasi yang kondusif dan harmonis sambil menanti kerja profesional para penegak.

Apapun hasilnya, satu yang pasti, khusus untuk kasus yang dibahas di atas, publik pemilih tidak salah dalam 'menusuk' calon itu. Kerja elektoral sudah ditunaikan dengan baik. Mereka telah menjadi pemilih yang berdaulat. Roh demokrasi sudah tampak dalam kisah percintaan di bilik itu. Harapannya, spirit demokrasi itu tidak boleh dicederai oleh 'tafsiran yang sarat bias' dan belepotan dengan interes politik parsial.


*Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.

0 Komentar