![]() |
Antara 'Pelesir' dan Kunjungan Kedinasan |
Oleh: Sil Joni*
Setelah Labuan Bajo ditetapkan sebagai salah satu destinasi wisata superprioritas, intensitas visitasi politik para elit politik nasional ke kota ini, semakin tinggi. Hampir setiap bulan, Pemerintah daerah (Pemda) Manggarai Barat (Mabar) menjamu tamu 'kehormatan' entah dari Jakarta (Pusat) maupun dari Kupang (Propinsi).
Kita tidak tahu pasti apakah kunjungan dari pejabat itu memang sangat mendesak dan berdampak positif bagi akselerasi pembangunan di wilayah ini. Sebetulnya, jika mau jujur aktivitas kunjungan itu, relatif tidak berdampak apa-apa bagi implemntasi pembangunan di Kabupaten Mabar.
Baca: Pidana, Apa Itu?
Pejabat dari berbagai kementerian boleh saja berlomba-lomba 'mendatangi' kota ini, tetapi kehadiran mereka sebenarnya tidak ada pengaruhnya bagi perbaikan tingkat kemaslahatan publik di sini. Alih-alih menghadirkan berkat, justru kegiatan kunjungan itu 'menyedot energi, waktu, dan mungkin modal' dari daerah ini. Bukan rahasia lagi bahwa kegiatan kunjungan para pejabat publik dengan rupa-rupa intensi itu, dibiayai oleh uang negara. Bisa dibayangkan, betapa besarnya anggaran yang dikeluarkan negara hanya untuk membiayai perjalananan dinas dari para pejabat itu.
Kita sering mendengar cerita bahwa para pejabat yang datang itu, tidak lupa 'bersenang-senang' di beberapa spot wisata favorit di sini. Boleh jadi, berwisata ke salah satu obyek, merupakan bagian dari agenda kegiatan kunjungan itu.
Jika cerita itu benar, maka patut diduga bahwa 'kunjungan politik' itu hanya sebuah modus untuk bisa berwisata ke destinasi superpremium. Mungkin intensi utama kedatangan mereka adalah berwisata, tetapi agar bisa menggunakan anggaran negara, dibuatlah agenda dan kegiatan yang seolah-olah sangat urgen dan vital di Labuan Bajo.
Karena itu, kita sulit membedakan antara aktivitas pelesir dengan kunjungan kedinasan. Hasrat untuk berwisata dibungkus dengan rencana kerja yang bersifat formal. Para elit itu, dengan demikian, mempunyai alasan yang rasional untuk sekadar merasakan 'sensasi dan eksotisme' tanah wisata ini.
Pertanyaannya adalah apakah sebuah keharusan bagi para pejabat nasional dan Propinsi untuk datang ke Labuan Bajo? Apakah Labuan Bajo 'berjalan mundur' ketika para pejabat itu tidak secara rutin mengunjungi kota ini? Benarkah kunjungan itu membawa dampak positif bagi perbaikan level kesejahteraan publik di kota ini? Siapa sebenarnya yang menikmati 'keuntungan' dari kehadiran para pejabat itu?
Kendati demikian, pada sisi yang lain, kita boleh berbangga sebab kota ini ternyata memiliki pesona yang tiada duanya. Semua mata, termasuk mata para pejabat publik, terarah ke Labuan Bajo. Harapannya, mereka memberikan 'perhatian politik' yang serius dan total terhadap kemajuan di daerah ini.
Dengan demikian, Labuan Bajo tidak hanya menjadi 'area pelepas lelah dan penat' semata, tetapi menjadi episentrum pergerakan roda pembangunan yang berimbas pada perbaikan nasib publik di Kabupaten Mabar. Para pejabat itu mesti memperlihatkan komitmen politik yang otentik untuk memberikan bantuan dan intervensi politik yang tepat agar publik segera keluar dari kubangan kemiskinan dan keterbelakangan.
Baca: F. Edison Hengki, Cakades No. 3 dan Arah Baru Pembangunan Desa Golo Mbu
Dengan perkataan lain, Labuan Bajo tidak boleh hanya menjadi 'tempat rekreasi' para pejabat publik, tetapi ruang ideal untuk melahirkan dan mengimplemantasikan aneka inovasi dan kreativitas politik bermutu untuk peningkatan mutu kehidupan publik par excellence. Kegiatan kunjungan itu mesti menginpirasi para pembuat kebijakan untuk memproduksi ide dan agenda yang pro pada kebaikan publik.
"Konser 1000 Sasando" yang digelar di Water Front, Labuan Bajo, Hari ini, Rabu (28/9/2022) seharusnya bermuara pada lahirnya 'konser 1000 kebijakan publik' agar daerah ini terlihat kian gagah dan bermartabat. Konser musik itu menjadi tidak berguna atau mubazir jika sekadar untuk menghibur dan menyenangkan hati para tamu, terutama Ibu Negara dan beberapa ibu Menteri yang datang menyaksikan festival itu. Untuk apa uang yang fantastis dihabiskan hanya untuk memenuhi dahaga estetika dari para pejabat semata?
Berharap kita tidak sedang menyebarkan 'keharuaman palsu' melaui konser musik Sasando yang bersifat massal itu. Konser itu hanya sarana dan pemantik isnpirasi untuk 'memperagakan' konser rancangan dan implementasi kebijakan publik yang bermutu. Oleh sebab itu, mesti ada efek konkret bagi perbaikan tata kelola pemerintahan dan penerapan pembangunan yang efektif pasca konser itu.
Baca: Sisi Kemanusiaan "Cakades Saverius Banskoan"
Ketika ideal itu termanifstasi, maka sinisme publik perihal signifikansi konser itu, akan dengan sendirinya gugur atau ditepis. Ternyata, para pembuat kebijakan sudah memikirkan kira-kira 'hal positif apa' yang bakal dicapai dari konser itu dan langkah-lankah strategis untuk mewujudkan cita-cita itu. Pada saatnya, mungkin publik akan berdecak kagum ternyata Labuan Bajo butuh 'konser 1000 Sasando' untuk melahirkan konser 1000 kebijakan yang bisa mengubah mutu kehidupan publik di sini. Jika itu yang terjadi, tidak salah jika kita rekomendasikan agar setiap tahun Konser 1000 Sasando itu dihelat.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.
0 Komentar